Sabtu, 07 Mei 2011

Dilema Benang Kusut Nasib Pendidikan Kita


Di era globalisasi membawa setidaknya tiga makna utama. Pertama, persaingan usaha dalam skala ekonomi, bahkan antar negara menjadi sangat penting. Bahkan negara bangsa bersaing melalui badan-badan usahanya. (Nation compete througt their corporations). Kedua, ditengah-tengah persaingan tumbuh kebutuhan untuk kerjasama atau ”cooperation”. Maka persoalan bahasa (Inggris), kultur menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses globalisasi. Ketiga, kompetensi dan spesialisasi yang menjadi penentu daya saing internasional. Akhirnya, networking adalah perekat dari seluruh komponen penentu keberhasilan di era globalisasi. Dari perspektif tersebut, jelas bahwa modal utama y ang dibutuhkan dalam era globalisasi adalah aspek knowledge, skill dan networking capacity yang kesemuanya bersumber dari kekayaan sumber daya manusia.

Perubahan mendasar akibat globalisasi ialah keterbukaan yang mengimplikasikan demokrasi dan kebebasan. Persaingan dalam bidang ekonomi akan semakin keras, tetapi selalu dalam konteks kerjasama. Demikian juga industrialisasi yang menuntut rasionalitas, efektivitas dalam semua segi kehidupan, termasuk penggunaan waktu. Semuanya harus diperhitungkan secara rasional.

Kunci utama akselerasi percepatan pertumbuhan suatu bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusia, untuk itu pendidikan merupakan aspek yang paling penting dalam meningkatkan kualitas SDM. Kenyataannya, kualitas SDM kita diakui memang masih belum memadai, dengan tingkat Human Development Index di angka 108 (World Bank, 2006), tingkat daya saing Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara serumpun yang dahulu berada dibelakang Indonesia.

Selanjtunya, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) setiap tahun melaporkan Human Development Index (HDI) yang menggambarkan rangking mutu pendidikan untuk seluruh dunia kepada Negara anggota dan organisasi internasional. Pada tahun 2006 urutan sepuluh teratas adalah Norway, Iceland, Australia, Irelan, Sweden, Canada, Japan, USA dan Switzerland, Negara tetangga terdekat Singapore menempati nomor 25, Malaysia nomor urut 61, dan China nomor urut 8, sedangkan Indonesia pada urut 108.

Tidak hanya itu, tingkat buta hurut penduduk Indonesia, diperkirakan mencapai angka 8%, dimana angka buta hurup tertinggi justru terjadi di pulau Jawa (Depdiknas, 2007), tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan masih rendah terutama untuk 7-12 tahun dan 13-15 tahun hanya mencapai angka 95,26% dan 82,09% bahkan untuk tingkat perguruan tinggi hanya mencapai angka 13% (BPS, 2006).

Dilema Benang Kusut

Permasalahan pendidikan nasional ibarat dilema benang kusut yang sangat sistemik dan kompleks. Bermula dari ketidakpedulian dan/atau ketidaktahuan para penyelenggara negara tentang peran penting pendidikan dalam kemajuan bangsa. Pendidikan dianggap serba mudah sebatas sekolah atau pemberantasan buta aksara hurup. Ahirnya kini pendidikan kita mengalami berbagai masalah kronis pada setiap ranahnya, yaitu : fundamental, struktural, operasional, finansial dan kultural.

Secara fundamental pendidikan kita tidak memiliki kejelasan filosofi yang mampu menjawab pertanyaan mengenai untuk apa pendidikan/persekolahan diselenggarakan?. Kekaburan paradigma ini menyebabkan operasi pendidikan kita mengalami ketidaktepatsasaran (mismatch ), tidak menjawab kebutuhan dan persoalan masyarakat pedukungnya.

Gejala umum mismatch itu ditunjukan oleh kapabilitas yang selain tidak memiliki kesesuaian kualifikasi dalam konteks perekonomian, tetapi juga ketidaksiapan mental --misalnya etos kerja, keterampilan, enterpreurship, dan leadership -- untuk meng-handle keberlangsungan sebuah negara modern yang beradab.

Secara kultural, politik pendidikan kita dari masa ke masa dijalankan dengan naluri dan spekulasi para penguasa, tidak mengacu kepada prinsip-prinsip ilmiah ilmu pendidikan dan pengalaman negara-negara maju. Kebijakan pendidikan nasional seringkali didasarkan atas trial and error, ”hit and run”, dan ”kick and rush”, sehingga menghasilkan berbagai anomali dalam operasinya.

Anomali itu dewasa ini tampak dalam berbagai gagasan atau kebijakan seperti World Class/Research University, Sekolah Internasional/Unggul (SBI), Badan Hukum Pendidikan (BHP), Stratifikasi Portofolio, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Olimpiade Sains, dan Ujian Nasional (UN) atau Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN).

Birokrasi pendidikan kita disusun atas dasar ideologi korupsi dan dihuni oleh orang-orang yang tidak memuliakan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan guru. Akibatnya, berbagai kebijakan implementasinya seringkali mengalami kendala pada meja para birokrat pendidikan.

Dari sisi finansial, ketentuan amandemen UU 1945 pasal 31 ayat 4 menetapkan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD. Pada mulanya prosentase terebut tidak termasuk gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Tetapi setelah adanya keputusan dari Mahkamah konstitusi (MK), kedua item tersebut dimasukkan dalam besaran anggaran pendidikan. Setelah mengalami kenaikan anggaran, Depdiknas kemudian menjadikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai dasar untuk sekolah gratis bagi pendidikan dasar. Akan tetapi meskipun anggaran pendidikan mengalami kenaikan, biaya pendidikan menengah dan tinggi semakin mahal, apalagi setelah diberlakukannya Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Keengganan pemerintah menganggarkan biaya pendidikan yang lebih besar, sesungguhnya bukanlah disebabkan ketiadaan dana, tetapi karena rendahnya kemauan politik. Para pengambil kebijakan pada umumnya mempersepsikan pendidikan secara parsial, pendidikan hanya dipandang ”an-sich,” terlepas dari pembangunan ekonomi dan budaya.
Dari sisi kultural masyarakat kita belum menjadi sebuah masyarakat pembelajar (learning society). Belajar dan sekolah masih sebatas tradisi dan formalitas karena gelar dan sertifikat merupakan status sosial dan persyaratan utama dalam memperoleh pekerjaan. Mudah dipahami jika masyarakat kita sekarang ini diserang oleh budaya ” diploma diseases ” yang melahirkan praktik perdagangan ijazah palsu, dan jual beli nilai yang marak dalam dunia pendidikan.

Pendidikan kita kini sekarang seperti berada pada situasi ”lampu merah” yang perlu kita atasi dan mencari solusi atas perbagai permasalahan tersebut. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah reformasi dalam tubuh pendidikan yang senantiasa selaras dengan spririt falsafah bangsa Indonesia yaitu ”... mencerdaskan kehidupan bangsa...” yang tentunya sejalan dengan pembangunan ekonomi dan budaya. Pendidikan harus diorientasikan kepada pengembangan skill, etos kerja, enterpreneurship dan leadership serta penanaman nilai-nilai spiritual. Selain itu, ada tiga unsur yang harus senantiasa dijaga agar upaya perbaikan pendidikan kita sesuai dengan harapan. Pertama, aturan hukum dan berbagai macam kebijakan pemerintah harus selaras dengan amanah konstitusi pasal 31 ayat 4 yaitu anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD,. Kedua, adanya kemauan politik dari para pemegang kebijakan dalam melakukan reformasi di tubuh pendidikan karena faktor anggaran dan komitmen pemerintah sangat penting dalam perbaikan mutu dan kualitas SDM. Ketiga, hal yang sangat penting adalah kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi seluruh masyarakat, mental yang siap dalam menghadapi berbagai macam tantangan serta mempunyai orientasi visi kedepan. Menumbuhkan semangat masyarakat pemberajar (Learning Society) sebagai bagian dari peran serta masyarakat, karena mentalitas individu sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi.


* dipojokan kegelisahan
Cecep Sopandi / Development Program SangSurya Life School

Tidak ada komentar:

Posting Komentar